Senin, 10 Februari 2014
SUSAH NYA UNTUK BERSEKOLAH
SUSAH NYA UNTUK BERSEKOLAH
Seorang ibu berkata pada anaknya" nak kalau
sudah besar kamu harus jadi pegawai negeri sipil (PNS) biar hidupmu
tidak susah, jangan meniru bapak dan ibumu yang tiap hari harus jualan
sayur kepasar, biar bapak dan ibu saja yang bodoh dan susah cari uang
liat tetangga kita itu sekolahannya tinggi coba lihat hidupnya enak kamu
harus mencontoh dia" . Sementara dilain pihak seorang ibu berkata "
buat apa sekolah tinggi-tinggi ? dokter sudah ada, menteri sudah ada,
guru banyak, presiden sudah ada, mendingan uang sekolahmu dibelikan sapi
biar beranak-pinak lebih jelas hasilnya dari pada harus dibayarkan
untuk sekolah, coba lihat si lukman itu sekolah jauh-jauh tapi setelah
selesai nganggur dan akhirnya sekarang jadi sopir anggutan.." !
Sadar atau tidak, ditingkatan masyarakat opini yang terbangun mengenai
dunia pendidikan (sekolah) seperti yang diilustrasikan diatas.
Masyarakat menilai bahwa salah satu alat keberhasilan seseorang
bersekolah adalah sejauh mana dia mampu membawa dirinya pada status
social yang tinggi dimasyarakat indikasinya adalah apakah seseorang itu
bekerja dengan berpenampilan elegan (berdasi, pake sepatu mengkilap, dan
membawa tas kantor) atau tidak, dan apakah seseorang tersebut bisa kaya
dengan pekerjaannya? Kalau seseorang yang telah menempuh jenjang
pendidikan (SLTA, D1, D2, D3, S1, S2, dan S3) lulus dan setelah itu
menganggur maka dia telah gagal bersekolah. Hal semacam inilah yang
sering ditemui di masyarakat kita.
Jelasnya pendidikan (sekolah) bukanlah suatu proses untuk mempersiapkan
manusia-manusia penghuni pabrik, berpenampilan elegan apalagi hanya
sebatas regenerasi pegawai negeri sipil (PNS), tapi lebih dari itu
adalah pendidikan merupakan upaya bagaimana memanusiakan manusia.
Tentunya proses tersebut bukan hal yang sederhana butuh komitmen yang
kuat dari setiap komponen pendidikan khusunya pemerintah bagaimana
memposisikan pendidikan sebagai inventasi jangka panjang dengan produk
manusia-manusia masa depan yang hadal, kritis dan bertanggung jawab.
Kalau dunia pendidikan hanya diposisikan sebagai pelengkap dunia
industri maka bisa jadi manusia-manusia Indonesia kedepan adalah manusia
yang kapitalistik, coba perhatikan menjelang masa-masa penerimaan
siswa/mahasiswa tahun ajaran baru dipinggir jalan sering kita temukan
mulai dari spanduk, baliho, liflet, brosur, pamlet dan stiker yang
bertuliskan slogan yang kapitalistik seperti " lulus dijamin langsung
kerja, kalau tidak uang kembali 100%, adapula yang bertuliskan "sekolah
hanya untuk bekerja, disini tempatnya" apalagi banyaknya sekolah-sekolah
yang bergaya industri semakin memperparah citra dunia pendidikan yang
cenderung lebih berorientasi pada pengakumulasian modal daripada
pemenuhan kualitas pelayanan akademik yang diberikan. Akhirnya terlihat
dengan jelas bagaimana mutu SDM Indonesia yang jauh dari harapan seperti
dilaporkan oleh studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human
Development Indeks (HDI) Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174
negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara.
Jadi, tidak mengherankan kalau ditingkatan masyarakat memandang dunia
pendidikan (sekolah) sampai hari ini seperti layaknya sebagai institusi
penyalur pegawai negeri sipil (PNS) indikasi dari pandangangan tersebut
bisa dilihat bagaimana animo masyarakat yang cukup tinggi ketika
pembukaan pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) seolah-olah
status/gelar akademik yang mereka capai (D1,D2,D3,S1,S2, dan S3) hanya
cocok untuk kerja-kerja kantoran (PNS) hal inipun merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik setiap
tahunnya bertambah sebab kesalahan motiv sekolah sebagai akibat dari
prilaku sekolah yang kapitalistik akhirnya banyak melahirkan kaum
terdidik yang bermentalitas "Gengsi gede-gedean"
Beberapa hal diatas setidaknya menjadi renungan bagi dunia pendidikan
kita bahwa pendidikan bukanlah sesederhana dengan hanya mengupulkan
orang lantas diceramahi setelah itu pulang kerumah mengerjakan tugas
besoknya kesekolah lagi sampai kelulusan dicapainya (sekolah berbasis
jalan tol), kalau aktivitas sekolah hanya monoton semacam ini maka
pilihan untuk bersekolah merupakan pilihan yang sangat merugikan akan
tetapi kalau proses yang dijalankannya tidak seperti sekolah jalan tol
maka pilihan untuk beinvestasi di dunia pendidikan dengan jalan
menyekolahkan anak-anak kita merupakan pilihan yang sangat cerdas. Oleh
sebab itu sudah saatnya dunia pendidikan kita mereformasi diri secara
serius khusunya bagaimana pembelajaran di sekolah itu bisa dijalankan
melalui prinsip penyadaran kritis sehingga melalui kekuatan kesadaran
kritis bisa menganalisis, mengaitkan bahkan menyimpulkan bahwa persoalan
kemiskinan, pengangguran, dan lainnya merupakan persoalan system bukan
karena persoalan jenjang sekolah. Inilah yang seharusnya menjadi muatan
penting untuk diinternalisasikan disetiap diri siswa.
Selain itu, mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa sekolah itu tidak
sekedar tahapan untuk bekerja kantoran menjadi salah satu agenda dunia
pendidikan yang harus segera dilakukan sehingga masyarakatpun bisa
memahami secara holistik untuk apa pendidikan itu dilahirkan. Agenda
semacam ini akan bisa dijalankan secara baik kalau masing-masing
insitusi pendidikan bertindak secara fair bagaimana proses penerimaan
siswa baru tidak lagi memakai slogan yang menyesatkan. Mempertahankan
sekolah yang kapitalistik sama saja menggerogoti minat dan motivasi
masyarakat untuk turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sumber : Wikipedia bahasa indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar